Sunday, September 9, 2012


Imam As Syafi’i dan Para Sufi


Di beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)


Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.

Imam As Syafi’i juga menyatakan,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena prilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207) Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini,”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmah dan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka.” (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalanagn sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Dengan demikian, pernyataan yang menyebutkan bahwa Imam As Syafi’i membenci total para sufi tidak sesuai dengan data sejarah, juga tidak sesaui dengan pemahaman para ulama mu’tabar dalam memahami perkataan Imam As Syafi’i. Wallahu’alam…

Rujukan:
1. Manaqib Al Imam As Syafi’i, karya Al Baihaqi, t. As Sayyid Ahmad Shaqr, cet.Dar At Turats Kairo, th.1390 H.
2. Madarij As Salikin, karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cet. Al Mathba’ah As Sunnah Al Muhamadiyah, th. 1375 H.
3. Adab As Syafi’I wa Manaqibuhu, karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, th. 1424 H.

Dialog Sufi: Kisah Abu Bakar Digigit Ular


www.nu.or.id

Moh Yasir Alimi, PhD, mantan pengurus PCI NU Cabang Istimewa Australia dan New Zealand (2005-2009) berdialog tentang jalan kesufian dengan Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani. Sang syekh adalah khadim atau pelayan thariqat Naqsabandi Haqqani di Indonesia.

Syaikh Mustafa lahir di Jombang, 25 Januari 1947. Ia adalah ulama sufi Ahlusunnah Wal Jamaa’ah yang menempuh pendidikan di pesantren Darul ’Ulum Jombang, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Setelah itu, Mustafa, yang kini membimbing 90 zawiyyah thariqat Naqsabandiah Haqqani di Indonesia, melanjutkan studinya ke School of Oriental African Studies (SOAS) University of London, dan Studies Johann Wolfgang Goethe Universitat, Frankfurt Am Mainz, Jerman.

Sebelum mengabdikan 100 persen waktunya untuk dakwah, ia pernah menjadi peneliti di LP3ES,dosen STAN Jakarta, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia. Pernah juga ia bekerja di Kementerian Belia dan Sukan dan Kuala Lumpur HRDC Trainer Malaysia.

Tahun 1997, ia ditunjuk oleh Maulana Syaikh Nadzim Al Haqqani Ciprus dan Maulana Syaikh Hisyam Kabbani Ar Robbani USA sebagai The Representatif of The Naqsybandi Sufi Order Indonesia.

Sejak saat itu, Syaikh Mustafa melepaskan profesinya dan mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk dakwah berkeliling ke seluruh penjuru Indonesia membimbing umat agar mencintai Rasulullah.

Di bawah perintah dan bimbingan Maulana Syaikh Nadzim, metoda dakwah Syaikh Mustafa mengedepankan semangat mencintai Rasulullah SAW, perdamaian, toleransi, cinta, kasing sayang dan persaudaraan. Dialog Yasir dan sang Syaikh, ada yang ketemu langsung, adapula melalui sms, maka gaya bahasa bisa bermacam-macam, dari bahasa sms, percakapan dan bahasa gaul. Berikut ini bagian pertama dialo kesufia.

Syaikh, terangkan kepadaku apa hakekat thariqat? 


Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk melebur ego, ke dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan arti fana missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja. Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya, sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang iklim saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah kesalehan; tentang pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur, tentang getar dalam hati kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain mutiara-mutiara Islam yang makin terasa hilang; maka temukanlah kembalimutiara itu melalui thariqat.

Bisa dijelaskan lagi Syaikh, tentang rasa cinta dan getar di dada itu?


Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang lalu, ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping dalam perjalanan menuju ke Madinah.

Sayidinia Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan "Penuh Adab yang Bersungguh", di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh), criticizing, bertanya pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa lewatTenggara?

Itu cermin apa, Syaihk?


Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam kehidupan kita sekarang yangmenjadi ruh dari reformasi, segala hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang.

Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan “percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al Amin,tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes dicintai.Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire', suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangatpenting untuk dijelaskan.

Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi. 

Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur."

Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya. Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem.

Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar?


Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk. Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3. Barangkali sudah kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau tidak mau Rasulullah digigit ular.

Akhirnya kakinya dicatel (digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah.

Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh?


"Nangis Sampean?” tanya Rasulullah.

"Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular."

There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular.

" Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?"

Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau.

"Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan ‘Barang siapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga,” kata ular.

“Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu fi ainal mahabbah,” lanjut ular.

Apa kata Allah? 


"Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah.

“Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu Engkau, Wahai Muhammad. "

Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh?


Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart.

Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.

Lihatlah kehidupan sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah". Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad.

Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang?

Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya yang enteng, kemudian dalam praktek bias jadi perilaku atau suasana hati yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu?

Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas, istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui thariqat. Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah, syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri.

Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bidah, perlu rumusan paradigm yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min kulli ma yukholiful azimah.

Jadi saat ini pun, kita semestinya senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar mendapatkan rahmat Allah. 

Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadis Qudsi.

Hadits pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”.

Hadis Qudsi kedua. Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau:

“Siapa kamu?”
“Aku Iblis” tukas orang asing itu.
“Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah.
“Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”.
“Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi.
“Kamu,” jawab iblis tegas.
“Kenapa,” tanya Rasulullah.
“Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis.

Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh?

Yang mati kita, bukan Rasulullah.[]

SARI AS-SAQATHI

Orang-orang mengatakan bahwa Sari As-Saqathi yang nama lengkapnya adalah Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathiadalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M dalam usia 98 tahun.

KEHIDUPAN SARI AS-SAQATHI

Sarri as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan ”peleburan”(fana) sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Iraq adalah murid-murid Sari as-Saqathi.
la adalah paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Karkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i. Pada mulanya Sari tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari dan berkata:
“Syeikh dari gunung Lukam mengirim salam kepadamu”.
Sari menyahut; “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusyukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaat pun”.

Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari membeli buah-buahan badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari.
“Buah-buah badam ini hendak kujuaI”, Sari berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?”, tanya si perantara.
“Enam puluh enam dinar”.
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar”, si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen”, jawab Sari,
“Dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri”.
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar”,
sahut di pedangang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari.

ooo

Pada mulanya Sari menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!”, orang-orang bertariak. Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari: “Bebaslah aku sudah!”
Setelah api reda ternyata toko Sari tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian.

ooo

“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini”, seseorang bertanya kepada Sari. Sari menjawab: “Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. ’Semoga Allah memberkahi engkau`, Habib ar-Ra`i mendoakan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi”.
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim.
’Berikanlah pakaian untuk anak ini’, pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian.
Kemudian Ma’ruf berkata; ’Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini’. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaanku di dunia ini”.

SARI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat intim khalifah, Ahmad Yazid si jurutulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya.
“Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi”. Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari.
Sari berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya.
Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa!”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikkan Sari ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari.
“Guru”, ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlahkepadaku jalan yang ditempuh para khalifah”.
“Jalan manakah yang engkau inginkan”, tanya Sari. “Jalan para sufi atau jalan hukum?
Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku”, Yazid meminta kepada Sari.

Maka berkatalah Sari: “Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat – jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperesok ke dalam perangkap-perangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut”.
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari dan berkata:
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa han ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia, Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku”,
Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya”.
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari. Sari memerintahkan kepada pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya”. Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman”, Ahmad berkata kepada Sari, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat”.
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isteri Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari sendiri pun tidak dapat menahan air matanya.
Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapa pun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai Imam kaum MusIimin”, Ahmad berseru kepada Sari, “mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku”.
Sari menjawab: “Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang”.
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim, Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu”.
“Baiklah”, jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu:
“Sekarang, pergilah engkau seorang diri”
Melihat hal ini si isteri menjerit: “Aku tidak sampai hati membiarkannya”, dan anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu”, kata Ahmad kepada isterinya, ’Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian”.
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sari di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari:
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan: ’Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku”.
Sari pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja”.
Sari mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya, Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang syeikh, dan berkatalah ia:
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi”.
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan- urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?”, jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit:
’Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!’ “.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut ini.
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya,”Apakah yang telah terjadi?”
Sari menjawab: “Aku telah berminat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan.
Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia menjawab:
’Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi’. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.

ooo

Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan. “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah sangat menakutkan. Aku menjadi gentar.
Orang itu menegurku:
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?”
“Ya”, jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia”.
“Siapakah engkau?”, aku bertanya. “Iblis”,jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau”, aku berkata kepadanya.
“Begitu engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari, engkau lupa kepada Allah.
Apakah maumu untuk bertemu dengan aku?” tanya si Iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang faqir?”
“Tidak”, jawab si Iblis.
“Mengapakah demikian?”
Si Iblis menjawab: “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat.
Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi”.
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?”
“Ya, aku melihat mereka”, jawab si Iblis, “Dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase/fana, dapatlah kulihat sumber keluh-kesah mereka itu”.
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana kudapati Sari yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya. “Dia telah berdusta, seteru Allah itu”, Sari berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis”.

ooo

Sari mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
“Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu”, Sari berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia memasuki kamar Sari dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu”.
Sari menjawab: “Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur, Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku”.[]

Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.

Tawadhu'nya Sufi Sejati


Amir bin Abdullah At-Tamimi

Tawadhu'nya Sufi Sejati

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal"

Salah satu tabi'in yang dikenal zuhud adalah Amir bin Abdullah At-Tamimi. Nama At-Tamimi pada akhir namanya merupa­kan penunjuk bahwa ia berasal dari Bani Tamim, suku Arab asli di Hijaz.

Pada waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah yangmembuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.

Seorang penduduk Bashrah men­ceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah mengikuti perjalanan se­buah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin Abdullah at-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah pepo­honan besar dekat sumber air. Saat itu­lah Amirmembereskan perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada se­buah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rum­put yang dapat mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepo­honan dan menjauh dari kami.
Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi Allah, akan aku ikuti dan perhati­kan apa yang dia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.'

Dia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat sese­orang shalat dengan sempurna dan khu­syu' seperti itu.

Karena kelelahan setelah menem­puh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk berat menyerangku,sehingga tertidur. Setelah sekian lama aku terlelap da­lam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."

Gentong Penuh Permata
Setiap kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyam­butnya. Dia mujahid yang banyak ber­peran saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, dia
menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk mendapatkan ghanimah
(rampasan perang).

Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, pang­lima Perang Qadisiyah, berhasil menun­dukkan persia, dia memerintahkan pe­tugas untuk mengumpulkan dan menghi­tung ghanimah. Banyak
sekali harta ke­kayaan, perhiasan, dan barang-barang berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya dibagi­kan kepada para mujahidin.

Saat para petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.

Dengan takjub mereka memperhati­kan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta ram­pasan perang yang sepadan dengan­nya. Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?"

"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.

"Apakah engkau mengambil bagi­an?" tanya mereka.

"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali.
Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat dan
aku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.

"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.

"Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar kalian
tidak memuji dan menyan­jungku. Aku hanya memuji dan menyan­jung Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu me­ninggalkan mereka.

Terdorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, mereka mengutus sese­orang untuk membuntuti dan mencari in­formasi tentang lekaki itu. Tanpa sepengetahuannya, lelaki itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut ke­pada mereka, mereka menjawab, `Tidak­kah engkau mengetahuinya? Dialah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdillah At-Tamimi."

Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal.Ketika sakitnya makin berat, para sa­habatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.
Mereka pun bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukan­kah engkau orang yang begini dan be­gitu (menyebutkan berbagai macam ke­baikan)."

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalan­an dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara
naik dan turun, ke sur­ga atau ke neraka, aku tak tahu ke mana aku akan kembali."

Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah de­ngan dzikrullah.

Amir bin Abdillah At-Tamimi mening­gal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la dimakamkan di Baitul Maqdis

Kehidupan Sufistik Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq


Kehidupan Sufistik Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq

"Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya salat dan banyaknya puasa, tapi karena sesuatu yang bersemayam di hatinya." (HR at-Tirmidzi di an-Nawâdir dan al-Ghazali di Ihyâ' Ulûmiddîn)

Setiap malam Jumat, usai salat Isyak, tubuh yang dibalut jubah kasar itu duduk berzikir. Kepalanya menunduk sangat rendah sampai menyentuh lutut. Begitu khusyuk dan khidmat, tak sedikit pun bergerak untuk mendongak. Menjelang fajar terbit, kepalanya baru diangkat, menghela nafas yang panjang dan tersendat-sendat. Kontan, aroma di ruangan itu berubah. Tercium bau hati yang terpanggang.

Itulah ibadah khusus Abu Bakar Radhiallâhu'anhu yang diceritakan oleh istri beliau setelah mendapat permintaan dari Umar bin al-Khatthab. Umar menitikkan air mata, terharu mendengar cerita dari istri pendahulunya itu. "Bagaimana mungkin putra al-Khatthab bisa memiliki hati yang terpanggang," desahnya. Hati yang terbakar oleh rasa takut melihat kebesaran Allah, terbakar oleh rasa cinta karena memandang keindahan Allah, juga terbakar oleh harapan yang memuncak akan belas kasih Allah.

Abu Bakar ash-Shiddiq dinobatkan sebagai orang terbaik dari kalangan umat Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah SAW juga menobatkannya khalîl atau kekasih terdekat bagi beliau. Faktor utamanya bukan karena banyaknya amal yang beliau lakukan, tapi karena totalitas hatinya. Hatinya serba total untuk Allah dan Rasul-Nya.

Pada saat Rasulullah SAW mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang melawan Romawi di Tabuk, Abu Bakar membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah SAW. "Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?" tanya Rasulullah kepada Abu Bakar.
"Allah dan Rasul-Nya?" jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikitpun.
Inilah totalitas hati Abu Bakar. "Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati tak menyisakan apapun melainkan apa yang ia cintai," demikian komentar Imam al-Ghazali tentang kisah beliau ini.

Totalitas hati itu membawa Abu Bakar SAW menjadi orang yang paling makrifat kepada Allah di antara umat Rasulullah SAW yang lain. Abu Bakar Radhiallâhu'anhu mengorbankan segalanya untuk Allah dan Rasulullah SAW

. Hingga, hidupnya begitu miskin setelah mengucapkan ikrar Islam di hadapan Rasulullah. Padahal, sebelumnya Abu Bakar adalah saudagar yang disegani di Quraisy.
Abdullah bin Umar bercerita: Suatu ketika Rasulullah SAW duduk. Di samping beliau ada Abu Bakar memakai jubah kasar, di bagian dadanya ditutupi dengan tambalan. Malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan salam Allah kepada Abu Bakar.
"Hai Rasulullah, kenapa aku lihat Abu Bakar memakai jubah kasar dengan tambalan penutup di bagian dadanya?" tanya Malaikat Jibril.

"Ia telah menginfakkan hartanya untukku sebelum Penaklukan Makkah." Sabda beliau
"Sampaikan kepadanya salam dari Allah dan sampaikan kepadanya: Tuhanmu bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?"
Rasulullah SAW menoleh kepada Abu Bakar. "Hai Abu Bakar, ini Jibril menyampaikan salam dari Allah kepadamu, dan Allah bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?"

Abu Bakar menangis: "Apakah aku akan murka kepada (takdir) Tuhanku!? (Tidak!) Aku rida dengan (takdir) Tuhanku, Aku rida akan (takdir) Tuhanku."
Semua miliknya habis untuk Allah dan Rasulullah SAW. Inilah totalitas cinta. Cinta yang mengorbankan segalanya untuk Sang Kekasih, tak menyisakan apa-apa lagi selain Dia di hatinya. "Orang yang merasakan kemurnian cinta kepada Allah, maka cinta itu akan membuatnya berpaling dari pencarian terhadap dunia dan membuatnya merasa tidak asyik bersama dengan segenap manusia." Demikian untaian kalimat tentang tasawuf cinta yang pernah terucap dari mulut mulia Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq.

Oleh karena itu, Sayidina Abu Bakar memilih zuhud sebagai jalan hidup utama beliau. Dunia bukanlah fasilitas yang hendak dinikmati, tapi godaan yang harus dihindari. Faktor utama yang menyebabkan manusia lupa kepada Allah adalah kesukaannya terhadap hal-hal duniawi.
Faktor utama yang menyebabkan manusia mendurhakai Allah juga kegilaan terhadap hal-hal duniawi. Kegilaan terhadap hal-hal duniawi merupakan sumber dan induk dari segala kesalahan yang dilakukan manusia.

Wasiat Nasehat Imam Hasan Basri
Yang menyebabkan Agama itu rusak adalah hidup tamak, sedangkan yang menyebabkan Agama itu baik adalah hidup wara’

Hidup di dunia sebaiknya tidak mewah atau sebaiknya selalu prihatin dan bersedih, sebab kita hidup di dunia ini bagaikan hidup di panggung sandiwara, yang nantinya akan diminta pertanggung jawabannya di Akhirat kelak. Dan hidup kita ini dipagari oleh kematian yang mana seorangpun tidak ada yang tahu kapan saatnya ajal itu akan tiba. Kehidupan orang beriman hanya untuk beribadah kepada Allah swt semata, sebagai bekal hidup di akhirat kelak; bukan untuk berfoya-foya atau bersenang-senang.

Ilmu dan Iman akan memudahkan orang untuk selalu Taqorrub ( mendekatkan diri) kepada Allah swt.

Hidup di dunia bagaikan ular berbisa yang lembut sentuhannya dan racunnya akan mematikan. Berhati-hatilah untuk hidup di dunia yang penuh pesona, rayuan dan godaan.

Orang Zuhud itu mempunyai tiga Syarat :

1.Sedikit sekali menggemari dunia, sederhana dalam menggunakan segala miliknya, menerima apa yang ada, juga tidak merisaukan segala sesuatu yang tidak ada, akan tetapi giat dalam bekerja, karena bekerja adalah mencari rizki, sedangkan mencari rizki, suatu kewajiban.
2.pujian dan celaan adalah hal yang sama, tidak bergembira bila mendapat pujian, juga tidak bersedih jika mendapat celaan atau hinaan.
3.mengutamakan ridho Allah swt dari pada ridho manusia atau merasa tenteram jiwanya bersama Allah swt dan merasa bahagia sebab dapat mentaati semua tuntutannya.

•Engkau tidak akan memperoleh hakikat Iman selama engkau mencela seseorang dengan sebuah aib yang ada pada dirimu sendiri. Perbaikilah aibmu, baru kemudian engkau perbaiki orang lain. Setiap kau perbaiki satu aibmu, maka akan tampak aib lain yang harus kau perbaiki. Akhirnya kau sibuk memperbaiki dirimu sendiri. Dan sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah swt adalah dia yang sibuk memperbaiki dirinya sendiri. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak ada hari seperti hari kiamat, hati dimana aib terbuka dan mata menangis.

Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al - Habsyi


Nasab Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi

Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin Syeikh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shohibusy Syi’ib bin Muhammad Ashgor bin Alwi bin Abu Bakar Al Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadullah bin Hasan At-Turabiy bin Ali bin Sayyidina Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam muhammad bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Beliau lahir di desa Qosam pada hari jum’at, 24 syawal 1259 H / 1839 M; dan diberi nama Ali oleh Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Tohir untuk mengambil berkah dari Sayyidina Ali Kholi’ Qosam. Ibunda beliau, Sayyidah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri ( lahir tahun 1240 H ), berasal dari kota Syibam, adalah seorang yang sangat gemar mengajar dan berdakwah, yang memiliki banyak karomah. Ayahanda beliau, Habib Muhammad bin Husein Al Habsyi( lahir, 18 jumadil akhir 1213 H) seorang ahli dakwah, memiliki karomah dan seringkali mengkasyf isi hati Habib Ali. Habib Muhammad berguru kepada Habib Tohir bin Husein bin Tohir, Habib Abdullah bin Husein bin Tohir, Habib Ahmad bin Umar bin Smith, Habib Hasan bin Saleh Al Bahr Al Jufri, Habib Abdullah bin Ali bin Syihabuddin, Syeikh Mufti Makkah Muhammad Saleh Rayyis, Syeikh Umar bin Abdurrasul Al-Atthar, Sayyid Al-Imam Al-Badi Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal dan Syeikh Al-Waliy Manshur bin Yusuf Al Budairi.

Nasehat Habib Muhammad Al Habsyi :

“Camkanlah, jangan sampai kalian tidak mempelajari ilmu bahasa, Nahwu dan shorof. Karena ilmu bahasa merupakan dasar dan perantara kalian untuk memahami semua ilmu.”

Hijrah ke Seiyun dan Mekah.

Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, ayahandanya hijrah ke Mekah bersama tiga anaknya yang telah dewasa; Abdullah, Ahmad dan Husein. Suatu hijrah yang abadi ke Mekah, demi mematuhi keinginan Syeikh Fath beliau, Al-Allamah Sayyid Abdullah bib Husein bin Tohir.
Ketika Habib Ali berumur 11 tahun, beliau bersama ibundanya pindah ke Seiwun, supaya beliau dapat memperdalam ilmu Fiqih dan ilmu-ilmu lainnya, sesuai perintah Sayyid Umar bi Hasan bin Abdullah Al Haddad.
Dalam perjalanan ke Seiwun; beliau melewati Masileh dan singgah di rumah Al-Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Tohir. Beliau menggunakan kesempatan itu, untuk menelaah kitab, mengambil ijazah dan ilbas. Di antara hafalan beliau adalah kitab Al-Irsyad, Alfiyah Ibnu Malik dan lainnya.
Pada usia 17 tahun, beliau diminta ayahandanya pergi ke Mekah dan tinggal bersama ayahnya selama 2 tahun yang penuh berkah. Setelah itu, beliau kembali ke Seiwun sebagai seorang Alim dan ahli dalam pendidikan. Beliau kembali atas perintah ayahandanya untuk menikahkan adik beliau, Aminah, dengan Sayyid Alwi bin Ahmad Assegaf, salah seorang murid ayahanya.

Kegiatan Habib Ali di Seiyun
Setelah merayakan pernikahan adiknya, Habib Ali lalu tinggal di Seiwun untuk belajar dan mengajar. Banyak pendduduk Seiwun menuntut ilmu kepadanya. Beliau juga sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu dari orang-orang alim disana. Beliau berguru kepada :

1. Sayyid Abdullah bin Husein bin Muhammad.
2. Syeikh Muhammad bin Ibrahim.
3. Al-Allamah Umar bin Hasan Al-Haddad.
4. Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur.
5. Habib Ali bin Idrus bin Syihabuddin.
6. Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab.
7. Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar ( Imam Para Sadah yang mulia ).
8. Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar.
9. Imam Idrus bin Umar bin Idrus Al-Habsyi.
10. Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas ( Syeikh beliau ).

Hubungan Habib Ali dengan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas.

Ketika Habib Ali bertemu pertama kali dengan Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas, terlihat tubuhnya diliputi cahaya, “Lelaki ini malaikat atau manusia” kata Habib Ali dalam hati.. Suatu hari beliau tidak bisa lagi membendung rasa rindunya kepada gurunya, Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas; kemudian beliau pergi ke Ghurfah. Saat itu Habib Abu Bakar sedang bertamu di rumah salah seorang kenalannya.

“Tambahlah hidangan siang untuk Ali bin Muhammad Al Habsyi. Sebentar lagi ia datang kemari. Ia tidak mampu berpisah terlalu dariku.”

Kata Habib Abu Bakar kepada tuan rumah. Sesampainya Habib Ali di rumah itu, si tuan rumah memberitahu bahwa Habib Abu Bakar telah mengkasyaf kedatangannya.



Makam Habib Abubakar bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Beliau adalah guru utama Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Muallif Simtud Duror. Beliau juga merupakan mertua dari Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas. Beliau sangat mastur hingga keluarganya sendiri tidak mengetahui kebesarannya.

Habib Ali berkata :

“Ucapan kaum Sholihin cukup sebagai pengganti makanan selama sebulan. Jika mendengar Habib Abu Bakar berceramah, rasanya aku tidak tidak membutuhkan makanan lagi. Seandainya beliau menyampaikan ilmunya selama sebulan, maka aku akan menjadikan ucapannya sebagai santapanku. Bukankah tujuan memberi kakan jasad adalah ruh, padahal ucapan beliau ini adalah santapan ruh langsung.”
“Alangkah baiknya membicarakan ilmu dengan seorang yang ahli dan mampu menerangkannya dengann baik. Habib Abu Bakar jika menerangkan suatu ilmu kepada kami, dari kedua bibirnya meluncur ilmu-ilmu yang segera melekat di hati kami; seperti air dingin bagi orang yang sedang kehausan. Jika duduk bersama beliau, aku selaliuberharap agar majelis itu tidak akan berakhir, walau selama sebulan. Saat itu, rasanya aku tidak menginginkan lagi kenikmatan duniawi, aku tidak merasa lapar atau haus.

Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Atthas pernah berkata kepada Habib Ali :

• ”Tidak mencintaiku kecuali orang yang berbahagia (sai’id). Tidak mencintaiku kecuali seorang yang saleh.”Aku, para sahabatku dan orang-orang yang mencintaiku kelak di hari kiamat berada dalam naungan Arsy.”
• “Wahai anakku, ketahilah, aku mengetahui semua wali yang ada di timur dan di barat. Aku belajar kepada mereka semua. Kadang kala aku memberitahu seseorang bahwa dia adalah seorang wali karena dia sendiri tidak menyadarinya,”
• “Ya, Ali. Sesungguhnya aku telah memeliharamu sejak kau berada dalam sulbi ayahmu.”
• “Wahai anakku. Ketahuilah aku mewarisi semua hal keluargaku, dan aku melebihi mereka dengan pemahamanku tentang kitabulloh yang tudak dimiliki oleh satupun dari keluargaku.”
• “Aku berniat mensyarahkan kitab Ihya ‘Ulumuddin. Dan aku akan memulainya dari bab keajaiban-keajaiban hati, sebab Syeikh Ghazali tidak membahas semuanya, beliau hanya menjelaskan secara garis besar. Namun kemudian, aku ingat bahwa tidak ada seorang salaf pun yang melakukannya.”



Wafatnya Ayahanda beliau.

Habib Muhammad sesungguhnya sedih melihat Habib Ali lebih senang tinggal di Hadramaut. Ketika Habib Abu Bakar bin Abdullah Al Attas berada di Mekah; Habib Muhammad mengadukan hal ini. Habib Abu Bakar kemudian memberinya kabar gembira bahwa kelak di Hadramaut, Habib Ali akan memperoleh Ahwal yang besar dan manfaat yang banyak. Baru setelah itu, tenanglah hati Habib Muhammad, dan Allah pun mewujudkan apa yang diucapkan Habib Abu Bakar Al Attas. Ketika Habib Ali berusia 22 tahun, ayahandanya, Habib Muhammad meninggal dunia di Mekah. Habib Muhammad memegang jabatan Mufti Syafiiyah Di Mekah; setelah wafatnya Syeikh Al-Allamah Ahmad Dimyati tahun 1270 H. jabatan ini dipegangnya hingga beliau wafat
Pada hari rabu 21 Dzulhijah 1281 H. beliau dimakamkan di Ma’laa di Huthoh saadah Aal Baa Alawiy. Sedangkan ibunda Habib Ali, Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri wafat pada tanggal 6 Rabiuts tsani 1309 H

Putra –putri Habib Ali

Dari perkawinannya dengan wanita Qosam, satu anak, Abdullah.
Dari perkawinannya dengan Hababah Fathimah binti Muhammad bin Segaf Maulakhela, 4 anak ( Muhammad, Ahmad, Alwi dan Khodijah ).

Ribath Habib Ali

Ketika berusia 37 tahun, beliau membangun Ribath ( pondok pesantren ) yang pertama di Hadramaut, di kota Seiwun untuk para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. Ribath menyerupai mesjid dan terletak di sebelah timur halaman masjid Abdul Malik. Biaya orang-orang yang tinggal di Ribath beliau tanggung sendiri. Habib Ali berkata :
”Ribath ini kudirikan dengan niat-niat yang baik, dan Ribath ini menyimpan rahasia (sir) yang besar. Ribath ini mrnyadarkan mereka yang lalai dan membangunkan mereka yang tertidur. Berapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, berapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath ini merubah orang yang tidak mengerti apa-apa menjadi orang yang alim.

Pembangunan Masjid Riyadh



Ketika berusia 44 tahun, beliau membangun Masjid Riyadh, pada tahun 1303 H.
Pada bulan syawal 1305 H, Habib Ali menggubah sebuah syair tentang Masjid Riyadh :

“Inilah Riyadh, ini pula sungai-sungainya yang mengalir
Yang memakmurkan mereguk segar airnya
Yang bermukim tercapai tujuannya
Yang berkunjung terkabul keinginannya
Masjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih
Maka tampaklah hasilnya”

Habib Ali berkata :

“Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya rahasia dan keberkahan Nabi Muhammad SAW”
Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi berkata :

“Berkata penggubah syair, lembah kebaikan telah penuh
Siapa ingin hajatnya terkabul beri’tikaflah di sekitar Riyadh”

Simtud Duror

Ketika Habib Ali berusia 68 tahun, beliau menulis kitab Maulid Simtud Duror ; pada hari kamis 26 safar 1327 H, beliau mendiktekan paragraph awal kitab mauled tersebut. Pada hari kamis 10 Rabiul Awal 1327 H, beliau menyempurnakannya dan pada malam sabtu 12 Rabiul Awal 1327 H, beliau membaca Simtud Duror di rumah muridnya, Sayyid Umar bin Hamid As segaf.
Maulid Simtud Duror yang agung ini, mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadramaut, Haramain, Indonesia, Afrika, Dhofar dan Yaman.

Habib Ali berkata :

• ”Tanggal 27 sya’ban 1327 H, Sayyid Hamid bin Alwi Al Bar akan pergi ke Madinah Al Munawwaroh membawa satu naskah maulid Simtud Duror yang akan dibacanya di hadapan Nabi SAW. Dan Nabi SAW akan merasa sangat senang.”
• “Maulidku ini tersebar di tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan mereka kepada Allah SWT dan akan membuat mereka dicintai Nabi SAW.”
• Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) Nabi SAW akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku kepada Nabi SAW dapat diterima oleh masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada Nabi SAW. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi SAW, Allah SWT membukakan padaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku.

Wafatnya Habib Ali

Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, penglihatan Habib semakin kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, beliau kehilangan penglihatannya. Menjelang wafatnya, tanda yang pertama kali tampak adalah Isthilam; yang berlangsung selama 70 hari, hingga kesehatan beliau semakin buruk. Akhirnya, pada waktu dzuhur, hari minggu, 20 Rabiuts tsani 1333 H / 1913 M, beliau wafat. Jenazah beliau dimakamkan disebelah barat Masjid Riyadh.



Makam Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi.

Habib Ahmad bin Hasan Al Attas berkata :

”Apakah Ali banyak melakukan shalat sunah? Apakah dia tidak tidur di malam hari? Apakah dia mengerjakan sekian ribu dzikir secara tetap? Tidak! Namun beliau sangat mencintai Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Mereka menarik Habib Ali, sehingga tanpa disadarinya, ia telah bersama mereka dan mereka berkata kepadanya, “berbicaralah dengan lisan kami”.

Kholifah Habib Ali

dalam wasiatnya, habib Ali menunjuk Habib Muhammad sebagai kholifahnya. Mengenai Habib Muhammad ini, Habib Ali berkata :

“Kalian jangan mengkhawatirkan anakku Muhammad. Pada dirinya terletak khilafah dzohir dan batin. Semoga Allah SWT menjadikan dia dan saudara-saudaranya penyejuk hati, semoga mereka dapat memakmurkan Ribath dan Masjid Riyadh dengan ilmu dan amal, semoga Allah menjadikan mereka sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan semoga Allah SWT memberi mereka keturunan yang saleh, serta menjaga mereka dari berbagai fitnah zaman dan teman-teman yang buruk.”

Habib Alwi bin Ali Al Habsyi membangun Masjid Riyadh di Solo tahun 1255 H. Beliau menyelenggarakan kegiatan ibadah dan taklim yang biasa diamalkan oleh ayahnya. Mengenai Habib Alwi ini, ayahnya ( Habib Ali ) pernah berkata dalam salah satu syairnya :

Ya Tuhan, dengan kebesaran Al Musthofa berilah Alwi Fath,
Dan berilah ia madad dari segala penjuru
Begitu pula semua saudara dan semua yang bersamanya
Dan penuhilah kedua tangannya dengan karunia-karunia-Mu
Dan jadikanlah dalam ilmu ia sebagai rujukan ahli zamannya

Murid-murid Habib Ali

1. Anak-anak beliau ( Habib Abdullah, Habib Muhammad, Habib Ahmad dan Habib Alwi )
2. Adik beliau ( Habib Syeikh bin Muhammad Al Habsyi ) dan kemenakan beliau ( Sayyid Ahmad bin Syekh Al Habsyi )
3. Sayyid Jakfar dan Abdul Qadir bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf.
4. Sayyid Muhammad bin Hadi bin Hasan Assegaf.
5. Sayyid Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Assegaf
6. Sayyid Salim bin Shofi bin Syeikh Assegaf
7. Sayyid Ali binAbdul Qadir bin Salim bin Alwi Al Aydrus
8. Sayyid Abdullah bin Alwi bin Zen Al Habsyi
9. Sayyid Muhammad bin Salim bin Alwi As Siri
10. Sayyid Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al Masyhur
11. Sayyid Hasan bin Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih
12. Sayyid Ali binAbdurrahman bin Muhammad Al Masyhur
13. Sayyid Umar dan Sayyid Abdullah bin Idrus bin Alwi Al Aydrus
14. Sayyid Abdullah bin Ali bin Syihabuddin
15. Sayyid Abdullah bin Umar Asy Syathri
16. Syeikh Ahmad bin Abdullah bin Abu Bakar Al Khotib
17. Sayyid Muhammad bin Idrus bin Umar Al Habsyi
18. Sayyid Umar bin Abdullah bin Muhammad Al Habsyi
19. Sayyid Umar bin Abdurrahman Al Aydrus Shohib Hazm
20. Sayyid Abdullah bin Alwi bin Hasan Al Attas
21. Sayyid Muhammad bin Salim bin Abu Bakar bin Abdullah Al Atthas
22. Sayyid Umar bin Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al Bar
23. Sayyid Hamid bin Alwi bin Abdullah Al Bar
24. Sayyid Muhammad dan Sayyid Musthofa bin Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al Muhdhor
25. Sayyid Muhammad dan Sayyid Umar bin Tohir bin Umar Al Haddad

Murid-murid beliau yang mencapai derajat Alim dalam ilmu Fiqih dan lainnya, selain yang menetap di Ribath antara lain :

1. Sayyid Toha bin Abdul Qadir bin Umar Assegaf
2. Sayyid Umar bin Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf
3. Syeikh Hasan, Ahmad dan Muhammad Baraja.

Orang-orang yang bersama beliau sepanjang hidup beliau dan seperti murid beliau adalah :

1. Sayyid Abdillah bin Ahmad bin Toha binAlwi Assegaf
2. Sayyid Alwi bin Ahmad bin Alwi bin Segaf Assegaf
3. Syeikh Ahmad bin Ali Makarim
4. Syeikh Ahmad bin Umar Hassan
5. Syeikh Muhammad bin Abdullah bin Zein bin Hadi bin Ahmad Basalamah
6. Syeikh Ubaid bin Awudh Ba Fali

Wasiat dan Nasihat Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi

• Wahai saudaraku, berprasangka baiklah kepada Allah swt, wujudkanlah kebenaran janji-Nya, dan rasakanlah kebesaran rahmat-Nya. Cukuplah bagi kita firman Allah swt, seperti disabdakan Rasulullah saw, “Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, maka berprasangkalah kepada-Ku sesukamu.”

• Jika seorang hamba memedulikan penyakit hati seperti penyakit badan, niscaya mereka akan mendapatkan tabib di hadapan mereka. Tetapi, sedikit sekali yang membahas masalah ini, karena mereka telah dikuasai nafsu dan akal.”

• Jika tak ada ketamakan, dan tak ada satu mahluk pun keluar dari lingkaran jejak nabi saw, tidak akan ada manusia mengejar dunia yang fana ini atau berpaling dari kebahagiaan akhirat yang kekal.”

• Tak ada derajat yang lebih tinggi daripada prasangka baik. Karena di dalam prasangka baik terdapat keselamatan dan keberuntungan. Didalam keluasan rahmat Allah swt sirnalah amalmu seperti amal setiap mahluk. Di dalam rahasia Allah swt swt, yang dititipkan pada mahluk-Nya, terdapat sesuatu yang mengharuskan untuk berkeyakinan bahwa semua mahluk adalah Aulia.

• Keteguhan yang sempurna berbeda-beda. Keteguhan dalam perkataan berbeda dengan keteguhan dalam perbuatan. Keteguhan perbuatan berbeda dengan keteguhan dalam beramal. Keteguhan dalam beramal berbeda dengan keteguhan dalam mencari. Keteguhan dalam mencari berbeda dengan keteguhan dalam apa yang dicari. Sedangkan hakikatnya, secara utuh dan merupakan kedudukan yang terakhir, adalah tidak memalingkan pandangan dari Allah swt sekedip mata pun, bahkan yang lebih cepat dari itu.

• Janganlah kau putuskan kehadiranmu di tempat-tempat yang baik karena alas an kesibukan dunia. Hati-hatilah, karena itu merupakan tipu daya setan. Hadirkanlah Allah swt ketika sendirian. Sembahlah Dia, seakan melihatnya; dan jika tidak melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu.

• Tutuplah mata dari perhiasan dunia dan segala kenikmatan fana yang dimiliki budak-budaknya serta kenikmatan yang akan terputus. Sesungguhnya semuanya seperti kau saksikan bahwa dunia ini cepat berpindah dan dekat kefanaannya.

• Jadikanlah Al-Qur’an dan zikir kepada Allah swt bacaan sehari-harimu. Bertafakurlah terhadap nikmat Allah swt. Jika mungkin, setiap waktu hanya ada antara dirimu dan Allah swt, dan pada saat itu telitilah diri sendiri. Rasulullah saw bersabda, “Telitilah dirimu, sebelum kalian diteliti.” Seseorang yang meneliti dirinya di dunia, perhitungan baginya akan lebih ringan di akherat kelak.

• Orang yang lalai mengira bahwa dirinya mencapai kelezatan dunia tanpa mengetahui bahwa sebenarnya kemanisan dunia bercampur dengan kepahitannya. Sedangkan kehidupan indah yang sebenarnya adalah berpaling dari dunia, kemudian masuk ke hadirat yang Maha Kaya dengan sifat faqir, miskin, lalu memetik sesuatu yang indah dari tempat itu.

• Kerjakanlah segala perintah Allah swt dan tinggalkanlah larangan-Nya. Jangan sampai Allah swt melihatmu melakukan apa yang dilarang-Nya, atau kehilangan-Mu pada perintahnya. Bangkitlah untuk memenuhi hak Allah swt. Bersemangatlah melakukan sesuatu yang membuat para salaf Mulia.

• Cabutlah ketajaman dari sarung pedang tabiatmu yang membelah akar cinta dari asalnya. Taburilah tanah dengan benih pohon-pohon kezuhudan, hingga menghasilkan qurb ( kedekatan ) kepada Allah swt, air telaga dari celah wishal ( persatuan dengan Allah swt ), dan pengetahuan pada puncak tujuan.

• Yang selalu memperlambat terkabulnya doa’ seorang hamba adalah karena harapan yang rendah : mengharapkan sesuatu dari mahluk. Angkatlah pandanganmu secara keseluruhan kepada zat yang dibutuhkan semua mahluk….maka akan tampak tanda-tanda terkabulnya doa’. 

HAK TETANGGA"..

ماشاءالله تبارك الله ياتريم واهلها "TERMASUK HAK TETANGGA".. DOSA YANG MEMBUAT PARA MALAIKAT MENANGIS‎ Diriwayatkan bahwa ...