Monday, September 10, 2012

Hakekat ADAB

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Allah swt. berfirman:"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (Q.s. An-Najm: 17).

Dikatakan bahwa ayat ini berarti, "Nabi melaksanakan adab di hadiratAllah." Allah swt. berfirman: "’Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. " (Q.s. At-Tahrim: 6).

Mengomentari ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarilah mereka adab."

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Hak seorang anak atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak
Sa’id bin al-Musayy-ab berkata, "Barangsiapa yang tidak mengetahul hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab."

Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adab dan mendidikku dengan sangat baik. "’ (H.r. Baihaqi)

Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. jadi’ orang yang beradab adalah orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini muncul istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya." Beliau juga mengatakan,"Aku. melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti." Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal.

Tetapi beliau lalu menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran." Setelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.

Al-Jalajily al-Bashry berkomentar, "Tauhid menuntut keimanan, jadi orang yang tak punya iman tidak bertauhid.

Iman menuntut syariat, jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman, dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyal adab tidak mematuhi syariat, tidak memiliki iman dan tauhid."

Ibnu Atha’ berkata, ‘Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji." Seseorang bertanya, "Apa artinya itu?"
Dia menjawab, "Maksudku engkau harus mempraktikkan adab kepada Allah swt baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab." Kemudian dia membacakan Syair : Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya. Jika diam, duhai cantiknya.

Abdullah al-Jurairy menuturkan, "Selama duapuluh tahun dalam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Orang yang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian."

Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin ditanya, "Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah swt.?" Dia menjawab, "Ma’rifat mengenal Ketuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan dari-Nya., serta. bersabar dalam menjalani penderitaan."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Jika, seorang ‘arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang."

Ditanyakan kepada Hasan al-Bashry, "Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?" Dia menjawab, "Memahami agama, zuhud di dunia, dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adab terhadap Allah swt. akan menjadi salah seorang yang dicintal Allah swt."

Sahl bin Abdullah mengatakan, "Para Sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Allah swt. dalam melaksanakan perintah perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara, adab terhadap-Nya."

Ibnul Mubarak berkata, "Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan. " Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang yang beradab meninggalkan kita."

Dikatakan, "Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing:
1. menghindari orang yang berakhlak buruk.
2. memperlihatkan adab dan
3. mencegah tindakan yang menyakitkan."

Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini tentang adab:Orang asing tak terasing bila dihiasi tiga pekerti ;menjalankan adab, diantaranya, dan kedua berbudi baik dan ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.

Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya, "Engkau telah mengajar murid-murldmu untuk berperilaku seperti raja-raja!" Abu Hafs merjawab, "Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya."
Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula."

Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan, "Seseorang mengatakan kepada seorang Sufi, Alangkah jeleknya adabmu!’ Sang Sufi menjawab, Aku tidak mempunyai adab buruk.’ Orang itu bertanya, ‘Siapa yang mengajarmu adab?’ Si Sufi menjawab, ‘Para Sufi.’

Abu an-Nashr as-Sarraj mengatakan, "Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab:
1) Manusia duniawi, yang cenderung memprioritaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghapalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2) Manusia religius yang memprioritaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu; 3) Kaum terpilih (ahlul khushushiyah) yang berkepedulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, dan menjalankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya."

Diriwayatkan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan, "Orang yang menundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus."

Dikatakan, "Kesempurnaan adab tidak bisa dicapai kecuali oleh para Nabi - semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka dan penegak kebenaran (shiddiqin)."

Abdullah ibnul Mubarak menegaskan, "Orang berbeda pendapat mengenai apa yang disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri."

Dulaf asy-Syibly berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab."

Dzun Nuun al-Mishry berkomentar, "Adab seorang ‘arif melampaui adab siapa pun. Sebab Allah Yang dima’rifati, Dialah yang mendidik hatinya. "

Salah seorang Sufi mengatakan, ‘Allah swt. berfirman: Barangsiapa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Kubuka padanya, jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihah, mana yang engkau sukai: adab atau kebinasaan’."

Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata, "Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab. " Statemen ini didukung oleh hadis yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda, "Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya?"

Dengan ucapannya itu Nabi menunjukkan bahwa betapapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau hargai. Mendekati makna, konteks ini mereka, para Sufi bersyair berikut:
Padaku penuh santun nan ramah, maka, bila berhadapan dengan mereka yang memiliki kesetiaan dan kehormatan, kubiarkan aku mengalir aku berbicara apa adanya tanpa malu-malu.

Al Junayd menyatakan, "Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur."

Abu Utsman al-Hiry mengatakan, "Manakala cinta telah menghujam sang pecinta, adab, akan menjadi keniscayaannya."

Ahmad an-Nury menegaskan, "Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.

Dzun Nuun al-Mishry berkata, "Jika seorang pemula dalam jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.

Mengenai ayat:"Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang " (Q.s. Al-Anbiya’: 83).

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan, ‘Ayub tidak mengatakan, ‘Kasihanilah aku!’ (irhamny), semata karena beradab dalam berbicara kepada Tuhan."

Begitujuga Isa as. mengatakan:"Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. " (Q.s. Al-Maidah: 118).

"Seandainya aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. " (Q.s. Al-Maidah: 116).

Komentar Syeikh ad-Daqqaq, "Nabi Isa mengucapkan,’Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya."

Al-Junayd menuturkan, "Pada hari jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta, ‘Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku."

Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, ‘Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya.’ Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata, ‘Wahai Abul Qasim, si fakir itu, hanya makan sesuap saja" dan pergi meninggalkan aku!’
Aku menjawab, ‘Barangkali Anda mengatakan sesuatu yang tak berkenan pada benaknya.’
Dia menjawab,’Aku tidak mengatakan apa-apa.’
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fikir duduk di dekat kami dan aku bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?’
’Dia menjawab, ‘Wahai syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa.
Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya.
Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan dan berkata, ‘Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham.
’Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya.’
Aku menjawab, ‘Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?’
Dia berkata, ‘Wahai Abul Qasim, saya bertobat!’
Maka aku pun lalu menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya."

Tingkatan Wali

Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :


Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.


Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.


Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.


Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.


Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.


Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.


Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.


Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.

Jangan Mengklaim Diri sbg Seorang Syekh

Kutipan shuhba Mawlana Syekh Hisyam Kabbani QS
Indonesia , September 6, 2004

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. [4.59]

Kita berharap bahwa kita akan patuh pada Allah dan nabi-Nya, dan
pada shuyuk kita, karena kita tak ingin mengklaim sesuatu yg tidak
kita miliki.

Ada yg mengklaim bahwa diri mereka tahu sesuatu. Ada yg mengklaim
tahu banyak. Ada juga yg mengklaim tahu akan "segalanya" lalu mereka
menunjuk diri mereka sendiri sebagai syekh2 meskipun mereka jauh
dari predikat syekh. Tingkat seorang syekh sangat sulit di capai,
jadi janganlah mengklaim sesuatu yg tidak kita miliki.

Seperti firman Allah dalam kitab suci Al qur'an :
Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahim, Wa la tuzakku anfusakum – janganlah
kamu mengatakan dirimu suci [53:32]

Jangan puji dirimu sendiri, atau janganlah mengklaim sesuatu yg
tidak kalian miliki.
Ada orang2 yg saat mendapat sebuah gelar dari suatu universitas (
bahkan belum menjadi seorang PhD ) mereka merasa mampu mengatur
dunia. Bahkan mereka yg telah meraih gelar PhD, mereka pikir bisa
mengatur negara.

Ada juga orang2 yg berpikir, jika mereka mengikuti orang suci (
syekh asli ) , mereka pikir telah mengetahui segalanya. Lalu
mulailah menyebarkan ego mereka yg telah terkontaminasi, ego mereka
adalah kesombongan, maka tersebarlah penyakit ini ke seluruh murid2
yg tidak menyadarinya.

Ada lagi orang2 yang setelah mengikuti suluk, mereka pikir diri
mereka telah jadi orang suci, dan nama mereka harus di cetak dan di
publikasikan dgn bersinar-sinar untuk menunjukkan bahwa mereka
adalah orang suci, dan masyarakat wajib mendengarkan mereka.

Kita harusnya sadar bahwa jika mengikuti seorg syekh sbg muridnya,
saat kita mendapat manfaat dari beliau atau kita melakukan suluk,
kita ini masih tak ada apa2nya, dan kita masih dlm proses pelatihan.
Kita belum menghilangkan penyakit2 kita. Kita masih harus
dikarantina agar setelah itu kita bisa dilepas pada masyarakat.

Beberapa orang , jika mereka menjadi imam di masjid, mereka pikir
bisa mengatur semua umat muslim. Mereka yg punya tanggung jawab pada
sekolah atau universitas, mereka kira dapat mengatur tiap orang.
Mereka tak merasa bahwa mereka bukanlah apa2.

Jika seseorang tahu cara berdzikir, saat dia duduk dan mulai
berdzikir, dia pikir dia akan menyebarkan spiritualitas pada semua
orang- dia tak sadar bahwa dirinya masih terkontaminasi dengan
kesombongan dan arogansi.

Otorisasi/ pengesahan adalah penting dlm Islam, dalam syariat dan
dalam tarekat. Kami menyebut ijin ini Ijazah ( bhs arab ). Artinya
sebuah limpahan wewenang untuk seorang calon yg telah belajar pada
para syekh, dari seorang syekh ke syekh-syekh berikutnya sampai
salah satu dari keempat Imam. Ini dalam Shariah. Seseorang harus
memilikinya- seperti saat ini ada universitas yg gelar PhDnya dari
Shariah Islam. HAL INI TAK ADA NILAINYA dibanding ajaran Shariah
dulunya.

Ajaran shariah dulunya harus mendapat transmisi langsung dari syekh
kalian, dari syekhnya lagi sampai grandsyekhnya, terus .. sampai
Imam Shafi'i.
Dia harus terhubung seperti itu. Dan Imam Shafi'i— dari Tabi'een yg
mana beliau mendapat instruksi itu? Dan beliau itu, dari kelompok
mana beliau mendapat instruksi ? harus punya silsilah seperti ini.
Silsilah ini dapat menuju Imam Abu Hanifa atau Imam Ibn Hanbal. Atau
Imam Malik. Harus mempunyai rantai transmisi. Kalau tidak, ijasah
mereka adalah nol, tak diperhitungkan.

Dalam Tariqah, sama. Dalam spiritualitas. Dalam realitas ruh diatas
ruh, dalam mempelajari makrifat. Pelajaran ini harus melalui sebuah
silsilah, rantai para syekh. Dari satu syekh ke syekhnya lagi
seterusnya..sampai para grand syekh, sampai Sayyidina Abu Bakr as-
Siddiq (ra) atau Sayyidina `Ali (ra), karena dari merekalah asal
tariqah, ke 41 tariqah.
Mereka semua bisa berasal dari Sayyidina Abu Bakr (ra) atau dari
Sayyidina `Ali (ra). Beliau yang memimpin langsung menuju hati Nabi
Muhammad saw. Jika silsilah tsb tidak ada, berarti orang2 yg merasa
diri mereka telah di beri pengesahan – maka pengesahannya itu adalah
nol.

Tak seorangpun bisa mengatakan dan mengklaim bahwa " Nabi datang
lewat mimpi saya" atau mengklaim bahwa Nabi mendatangi ini itu,
atau mengatakan " Saya pergi ke sana dan mendapati diri saya
menerima wewenang dalam hal ini dan itu" . Hal ini tidak dapat
diterima.

Sekarang ini , para syekh yg mengira diri mereka ( karena mereka
bermimpi, atau sedang tidur, dan saat bangun mereka melihat
sesuatu ) lalu seketika itu mereka menjadi orang yg punya wewenang.

Jika demikian, lebih baik Sayyidina Muhammad (saw) diberi wewenang
melalui sebuah mimpi atau sebuah penglihatan. Namun bukan terjadi
seperti itu. Beliau membutuhkan Sayyidina Jibril (as). Sayyidina
Muhammad (s), bermeditasi selama 40 th, ber khalwat, suluk, di Gua
Hira, dan beliau membutuhkan…

Beliau tak pernah mengatakan : " Saya melihat ini, saat berdoa pada
Allah, saat bersujud pada Allah,"
Sampai Jibril (as) datang pada beliau dan memberinya ( wahyu )
secara nyata/fisik. Tidak mungkin lewat mimpi ! bukan pula dlm
kondisi koma! Tidak mungkin pula saat pingsan! Tak mungkin dlm
keadaan apapun kecuali secara fisik/nyata. Hal itu harus diberikan.

Dan kita mengikuti jejak nabi saw. Hal itu diberikan pada nabi (
saw ) – dari Allah ( swt ) pada Jibril(as); kemudian dari Jibril
kepada nabi ( saw ). Sebuah rantai penerus.
Jika kita katakan segala sesuatu datang lewat mimpi, itu boleh saja.
Tapi mengapa nabi (saw ) tidak menerima wahyu lewat mimpi ?
Atau saat beliau koma, hasha ? Atau mengapa beliau tidak menerima
wahyu dgn memakai cara berbeda tanpa arti yg menggambarkan secara
fisik ? Beliau melihat Jibril (as) secara nyata! Jibril (as)
memeluknya.

Beliau mengatakan, Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahim, dgn sebuah pesan
Islam, "Iqra'." Iqra bismi Rabbik alladhee khalaq." -
"Bacalah dengan nama Allah, Tuhan Maha Pencipta."
Sayyidina Jibreel datang dari kaki langit, menutup seluruh horizon,
dan beliau datang pada Nabi Muhammad (saw) seraya berkata :

"Ya Muhammad (s), Iqra - bacalah."
Nabi saw bertanya , "Apa yg akan ku baca? "
Jawab Jibril as : " Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. [96.5]

Secara nyata Jibril mengajari Nabi saw.
Saat Ramadan, Nabi as sering mempelajari Quran dari Jibreel (as).
Dalam Hadist nabi : kaana yatadarras al-Qur'an ma` Jibreel. " Dia
sering belajar Qur`an dgn Jibril."

Untuk itu nabi saw membutuhkan pembukaan batin secara fisik, wahyu,
dari Allah (swt). Allah (swt) mengutus Jibril untuk menemui Nabi
saw.

Bagaimana dgn kita sekarang ini, orang2 di seluruh dunia, yang
telah mendapat sebuah mimpi atau diperintah oleh mimpinya.
Ya, hal ini boleh saja. Jika kalian diminta melakukan sesuatu,
kalian laksanakan. Namun yang kalian lakukan terbatas. Tak ada
sebuah dukungan. Tak ada pendukung dibelakangnya. Tanpa dukungan,
suatu saat hal itu akan rusak, habis sudah. Musnah.

Bahkan saat datang dgn wahyu, Jibril melatih Nabi saw, beliau angkat
nabi, beliau kirimkan pesan2 dari Allah swt. Setelah 2 th, Jibril
dikirim secara fisik/nyata. Tiap beliau datang membawa wahyu,
biasanya selalu secara nyata. Tak pernah Nabi saw mengatakan
" Saya menerima Qur'an lewat mimpi."
Nabi menerima Quran lewat wahyu melalui Jibril as.


Dan dhikrullah diambil dari Qur'an, nama2 Allah yg indah. Jadi untuk
melakukan dzikir, harus secara fisik melalui seorang guru. Kalian
tak bisa mengatakan, " Saya tak butuh seorang guru. Saya tak butuh
seorang pemandu!" Allah meminta Jibreel sebagai pemandu nabi
(saw).

Dalam waktu 2 tahun setelah nabi saw menyampaikan wahyu, Allah
memanggil Nabi saw menuju kehadapan-Nya.
Maka Jibreel (as) harus membawa beliau secara fisik pada malam
Isra'i wa 'l-Mi`raaj. Seperti bulan ini kita berada dlm Lailatu 'l-
Isra'i wa 'l-Mi`raj. Secara fisik Jibril as membawa beliau dan
Allah memberinya kendaraan , al-buraaq. Nabi saw mampu pergi tanpa
buraaq. Nabi mampu "naik" lewat mimpi, tanpa tubuh beliau mampu
naik ke atas. Namun, malam itu beliau bersama raganya. Ruh beliau
menuju ke hadapan Allah.

Artinya secara fisik kalian membutuhkan seorang guru untuk mengajari
dan memandu kalian seperti halnya Nabi yg membutuhkan buraaq, dan
membutuhkan Jibril (as), untuk mengantar beliau sampai ke hadapan
Ilahi.

Ada buah2an asli dan buah2an plastik. Buah asli ada rasanya, saat
kalian makan, kalian rasakan manisnya buah itu. Buah dari plastik,
atau yg terbuat dari kertas – bisa kalian memakan kertas, namun tak
ada rasa. Kalian dapat memakan plastik tapi tak ada rasanya.

Jadi Dhikrullah dengan syekh yg telah diberi wewenang melalui rantai
orang2 suci sampai menuju Nabi saw— itulah dhikir yg punya rasa.
Dhikrullah, tiap Asmullah ul-Husna— nama2 indah & atribut milik
Allah swt — rahasia nama2 Allah akan dihiaskan pada kalian. Kalian
akan mendapatkan penampilan itu dan Allah akan melimpahkan rahmatnya
pada seseorang saat dia berdhikr, karena dia terhubung, melalui
hatinya, melalui shaykhnya, pada grandshaykh, dan seterusnya
sampai Sayyidina Abu Bakr as-Siddiq (ra) ataupun Sayyidina `Ali
(ra), dan kemudian pada Nabi Muhammad saw.

Syekh yg lain, yg mengira dirinya seorang syekh namun tanpa wewenang
ataupun melalui sebuah silsilah, yg mengklaim diri sendiri sebagai
seorang syekh – dhikirnya tak berasa manis. Suatu saat akan hilang.
Allah swt memberi sebuah karakteristik pada nabi saw yg Dia tak
memberikannya pada siapapun. Kerendahan hati.

Sayyidina Muhammad (s) adalah orang yg paling rendah hati. Jika
kalian rendah hati, kalian akan mendapat pengetahuan spiritual.
Saat kalian arogan dan bangga pada diri sendiri, kalian akan
dilemparkan seperti mereka yg punya gelar yg didapat dari belajar
Islam di universitas, namun tanpa ruh , tanpa jiwa – tak ada
kemanisan disana atau rasa didalamnya.
Mereka mempelajari huruf2 yg digabung bersama.

Di lain pihak, seorang `Arif billah— ahli makrifat, dia tidak
mempelajari huruf2. Namun guru mereka mengajari makna dan rahasia
dibalik huruf2. Mereka mulai memilah arti yg tak seorangpun dapat
memilahnya. Dan ini dilakukan dgn rendah hati.

Jika sombong, kalian akan jadi iblis. Iblis adalah sombong. Jadi
jangan menjadi seorang yg arogan. Rendah hatilah. Saat kalian
merendahkan diri, orang akan mencintaimu. Saat orang2 mencintaimu,
syekh kalian akan membawa kalian mendekati beliau. Saat beliau
membawa kalian utk mendekat, beliau akan membawa kalian melewati
silsilah untuk mencapai cinta dan penglihatan akan nabi Muhammad
saw.

Dulu ada seorang raja yg dikirimi seorang budak- raja pada masa itu
biasanya punya banyak budak.
Orang2 biasa membeli budak dari berbagai negara di dunia. Hal itu
seperti sebuah perdagangan, dalam suatu periode. Jadi mereka
memberi raja sebuah hadiah, seorang budak. Namun pembantu itu ( yg
dikirim pada raja ) adalah seorang yg baik - jika kalian tak mau
menyebutnya sbg seorang budak.

Lalu raja menanyakan beberapa pertanyaan. Beliau bertanya saat
mereka menghadirkan pembantu itu, "Siapa namamu? "
Jawabnya, " Tuanku, seorang budak tidak punya sebuah nama. Apapun yg
tuan sebut dia, dia harus menjawabnya. Sebelum anda, saya pernah
bersama tuan2 yg lain. Dan mereka memanggil saya berbeda-beda. Tugas
saya adalah menjawab tuan. Tugas saya bukanlah untuk mempunyai
sebuah identitas, sebuah nama. Saya tak punya nama."

Lalu raja bertanya , "Pakaian apa yg sepantasnya saya berikan
padamu ?"
Jawab si budak, "Oh tuanku, saya tak punya pilihan. Di hadapan
baginda, saya tak punya pilihan, juga saat di hadapan tuan2 saya
sebelumnya, saya tak punya pilihan. Seorang budak mengiyakan apa yg
dikatakan tuannya. Jika tuan saya berkata: Pakai baju merah ini.
Maka saya melakukannya. Pakai baju biru ini. Sayapun memakainya.
Jika hijau, saya pakai itu. Jika beliau menyuruh untuk tak memakai
apapun, saya tak akan memakai apapun. Hal ini adalah pilihan tuan.
Bukan pilihan saya. "

Dengar baik2.

Beliau bertanya, " Makanan apa yg paling kamu suka ?"
Jawabnya, " Oh tuan, makanan apapun yg mereka berikan pada saya utk
dimakan, saya makan. Jika mereka memberi nasi, saya makan nasi. Jika
mereka memberi roti, saya makan roti, jika mereka memberi daging,
saya makan daging. Jika mereka memberi rumput, saya makan rumput.
Jika mereka memberi buah, saya makan buah. Tak ada pilihan buat saya
di hadapan tuan."

Lalu raja akhirnya berkata, " Budakku, pembantuku, jadi apa yg bisa
kulakukan untukmu ?
Jawabnya, "Oh Tuanku, apakah seorang budak punya keinginan dihadapan
tuannya ? Budak adalah dibawah kehendak raja, tuannya. Anda memilih
apa yg bagus buat saya, lalu anda beri itu pada saya. "

Kata raja, "Oh pembantuku, kamu seorang muslim sejati. Dan lebih
baik kamu memimpin negara ini daripada aku. Kamu seorang raja, dan
saya pendukungmu."

Saat seorang hamba memperlihatkan tak punya keinginan, dalam
berbagai cara Allah membuat mereka menjadi raja. Saat kalian tidak
menunjukkan keinginan…. Nabi saw tak pernah punya suatu keinginan.
Allah membuatnya beliau sebagai Rasul terakhir. Orang suci, mereka
tunduk pada kehendak Allah (swt) dan kehendak nabi saw.
Allah menjadikan mereka orang2 suci. Saat kalian menundukkan diri
pada kehendak guru kalian, maka beliau akan mengangkat kalian dan
mempercayai kalian untuk membawa amanah umat dibawah pengajaran
kalian.Itulah hal yg penting, tunduk. Tidak bangga akan gagasan dan
pikiran kalian sendiri.

Ini adalah suatu kutukan, jika kalian bangga dgn pikiran dan gagasan
diri sendiri. Kalian seorang pecundang.
Saat ini, karena arogansi, kesombongan, anak2 tidak menerima apa yg
orang tua katakan. Orang tua tidak menerima apa yg orang yg lebih
tua katakan. Tiap orang berlari dalam jalan mereka sendiri2. Mereka
tidak mau mendengar apa yg Islam dan Qur'an katakan.
Mereka mendengarkan hanya yg dunia katakan pada mereka, dan apa yg
setan katakan pada mereka, dan nafsu2 buruk yg dibisikkan.

Lihat anak laki2 itu. Siapa namanya ? Hamdaan. Bagaimana dia
membawakan ( bacaan qur'an. Pentj )? Berapa umurmu ? 12 tahun. Dia
membaca lebih baik dari semua yg berada diruangan ini. Dia berumur
12 th, dan kita ini berumur 70, 80, 90, 60, 50, 40, 30. Dunia ini
tak ada dihatinya.

Yg lain, Allah memberi mereka – bukannya belajar membaca seperti
Hamdaan, mereka sedang belajar bagaimana menyanyikan lagu-lagu, MTV,
video klip, diskotik, mengejar wanita cantik, artis, aktris. Ini
gaya hidup yg seorang yg masih sangat muda dlm meningkatkan
kepatuhan pada Allah. Dia akan berada dalam bayang2 singgasana Allah
saat kiamat nanti.

Nabi bersabda, " Yang tujuh akan berada dibawah bayang2 Allah saat
kiamat. " Saat matahari akan membakar otak tiap orang. Allah akan
menaungi ke tujuh kelompok itu. Salah satu dari mereka
adalah "waladun nasha `ala ta`atillah," – seorang anak yg tumbuh
dalam kepatuhan pada Allah."
Yang lain adalah walad , yang tak pernah mengatakan "huh" pada ayah
bundanya saat dia hidup. Allah menaunginya.

Orang kaya saat ini atau mereka yg berpenghasilan menengah sedang
mengejar segala yg kotor; dan anak tadi yg tak punya apa2 mengejar
kepatuhan pada allah, sangat berlawanan.

Namun kita masih mengatakan bahwa Allah ( swt ) selalu penuh
ampunan. Dan Allah swt telah mengatakan pada Nabi saw:
"wa maa arsalnaaka illa Rahmatan lil `aalameen."
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam. [21.107]

Jadi insya Allah kita akan, masing2 dari kita akan berada dibawah
ampunan Allah swt. Mereka yg sedang berlari kesana dan kemari, Allah
memberi mereka ampunanNya ( amin ).
Wa min Allahi 't-tawfiq, bi hurmati 'l-Fatiha

Hakikat Zuhud


Hakikat Zuhud

Mutiara Ihya ulumuddin

Yang dimaksud dengan hakikatnya zuhud adalah menolak sesuatu serta mengandalkan yang lain. Maka barangsiapa yang meninggalkan kelebihan dunia serta menolaknya dan mengharapkan akhirat maka ia juga zuhud di dunia.

Sedangkan derajat zuhud yang tertinggi adalah jika ia tidak menginginkan segala sesuatu selain Allah SWT bahkan akhirat. Zuhud haruslah disertai pengetahuan bahwa akhirat itu lebih baik daripada dunia. Amalan yang timbul dari suatu keadaan ialah sebagai pelengkap dari suatu keinginan terhadap akhirat. Sedangkan segala amalnya bagaikan pembayaran harga dengan memelihara harta serta anggota tubuh dari segala yang. bertentangan dengan jualan ini. Sedangkan keutamaan zuhud ditunjukkan oleh ayat sebagai berikut:

Allah SWT. telah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bwni sebagaiperhiasan baginya agar Kami dapat menguji mereka siapa yang terbaik perbuatannya di antara mereka". (QS. Al-Kahfi: 7)

Allah SWT. telah berfirman, "Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah keuntungan tersebut baginya, serta barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, maka akan Kami berikan kepada mereka sebagian keuntungan dunia serta tidak akan ada bagktya suatu bagian pun di akhirat". (QS. Asy-Syura: 20)

Rasulullah Saw. telah bersabda, "Barang siapa yang menginginkan di dunia, maka Allah SWT. akan mencerai beraikan pikiran beserta harta bendanya dan sebagian besar kemiskinannya ada di depan matanya, sedangkan dunia tidak datang kepadanya melainkan yang ditetapkan baginya. Sedangkan barang siapa yang keinginannya adalah akhirat, maka Allah SWT. akan menyatukan pikiran serta memelihara harta bendanya dan menjadikannya semua kekayaan di dalam hatinya dan dunia pun akan datang kepadanya dalam keadaan tunduk".

Rasulullah Saw. telah bersabda, "Jikalau engkau telah melihat seseorang yang dikaruniai sifat tenang serta menjauhi dunia, maka dekatilah dia, sebab mereka bagimu akan memberi sebuah hikmah".

Rasulullah Saw. juga telah bersabda, "Jikalau engkau ingin dicintai oleh Allah SWT. maka jauhilah keduniaan, niscaya Allah akan mencintaimu".

Pada saat haritsah berkata kepada Rasulullah Saw., "Aku seorang mukmin yang benar?" Rasulullah Saw. berkata, "Apakah yang engkau ketahui tentang hakikat imanmu? Maka Haritsa menjawab, "Diriku telah menjauhi dunia sehingga batu serta emasnya ialah sama bagiku. Seakan-akan aku telah melihat surga dan neraka dan seakan-akan menyaksikan Arsy Tuhanku".

Maka Rasulullah Saw. telah berkata, "Engkau telah mengetahuinyaj maka tetapkanlah. Inilah salah satu contoh hamba yang diterangi hatinya oleh Allah SWT. dengan iman". Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang penjelasan firman Allah SWT, "Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah SWT. hatinya untuk (menerima) agama Islam, kemudian ia mendapatkan cahaya dari Tuhannya (sama halnya seorang yang telah membantu hatinya". (QS. Az-Zumar:39),

Didalam Firman yang lain, "Barang siapa yang Allah ingin memberinya sebuah petunjuk niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam". (QS. Al-An'am: 125).

Maka Rasulullah Saw. pun menjawab, "Sesungguhnya cahaya tersebut jikalau masuk ke dalam hati, maka dada pun menjadi lapang dan terbuka".
Ada seseorang yang telah berkata, "Ya Rasulullah, apakah keadaan tersebut ada tandanya?"
Maka beliau menjawab, "Ya, dengan menjauhi sebuah negeri yang terdapat tipu daya (dunia) serta kembali ke negeri yang kekal (akhirat) dan akan siap untuk menghadapi kematian yang akan tiba".
Jabirra. telah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkhutbah kepada kami seraya berkata, "Barang siapa dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah tanpa dicampuri dengan yang lainnya, maka ia pun akan masuk surga".
Lalu Ali ra. juga telah bersabda, "Ayah dan ibuku yang akan menjadi tebusanmu, ya Rasulullah, apa yang tidak bercampur dengannya, coba terangkan ia kepada kami". Maka Rasulullah Saw. berkata, "Cinta dunia dengan mencari serta dengan mengikutinya. Orang-orang yang mengatakan perkataan Nabi-nabi serta mengamalkan perbuatan orang-orang yang sombong. Maka barang siapa yang datang membawa kalimat "Laa ilaha illallah " tanpa dicampuri sesuatupun dari ini, maka wajiblah surga baginya". Di dalam suatu kabar telah disebutkan, "Kedermawanan itu termasuk serta keyakinan serta tidak masuk mereka orang yang yakin, sedangkan kekikirannya termasuk keraguan serta tidak masuk surga siapa yang ragu".

Diantara tiga macam derajat zuhud
Yang pertama, memaksakan zuhud terhadap dunia serta memerangi nafsunya di dalam usaha meninggalkannya walaupun disukainya. Ini ialah orang yang memaksakan zuhud serta mudah-mudahan berlangsung terus sampai ia mencapai zuhud.

Yang kedua, ia bersifat zuhud terhadap duia dengan suka rela sebab meremehkannya disamping ada yang diharapkannya. Seperti halnya orang yang sedang meninggalkan satu dirham demi dua dirham serta ini tidaklah memberatkannya, akan tetapi ia harus memperhatikan keadaan dirinya. Ini juga telah mengandung sebuah keknrangan. Yang ketiga, zuhud yang paling tinggi, yakni jikalau seseorang bersifat zuhud dengan suka rela serta tidak pernah merasakan zuhudnya, sebab ia tidak menganggap bahwa ia telah meninggalkan sesuatu sebab ia tahu bahwa dunia bukan apa-apa.

Maka, ia bagaikan orang yang sedang meninggalkan tanah yang liat serta mengambil permata. Ia tidak pernah menganggap itu sebagai pengganti, sedangkan dunia sendiri kalau dibandingkan dengan akhirat maka tidak ada artinya.

Telah berkata Abu Zaid ra. kepada Abi Musa Abdurrahman, 'Tentang apa anda berbicara".
Maka ia menjawab, 'Tidak lain tentang zuhud".
Kemudian Abu Zaid berkata, "Zuhud terhadap apa?"
Sedang Abu Musa menjawab, 'Terhadap dunia".
Maka Abu Zaid telah membebaskan tangannya seraya berkata, "Aku sedang mengira bahwa ia berbicara tentang sesuatu bagian dunia, bukan sesuatu yang ia bersikap zuhud terhadapnya".

Seperti orang yang sedang meninggalkan dunia untuk akhirat menurut ahli makrifat serta para pemilik hati yang dipenuhi penyaksian serta mukasyafat ialah bagaikan orang yang sedang dihalangi anjing yang sedang memasuki pintu seorang raja, lalu ia melemparkan sepotong roti kepadanya sehingga melalaikan anjing tersebut serta ia pun masuk pintu dan akan mendapatkan kedudukan di sisi raja hingga ia melaksanakan perintahnya di seluruh kerajaannya. Tidakkah engkau melihat telah mendapat di sisi raja dengan sepotong roti yang sedang dilemparkannya kepada anjing dengan imbalan tersebut?

Setan itu anjing di pintu raja, yakni Allah SWT. Ia mencegah manusia bisa masuk, sedangkan pintu terbuka dan tabir terangkat, sedangkan dunia tendiri bagaikan sepotong roti. Jikalau engkau sedang memakainya, maka kelezatannya hanya bersifat sementara serta akan habis ketika sudah ditelan, lalu tinggal berat di perut besar, lalu menjadi busuk, serta perlu dikeluarkan yang dalam bentuk kotoran. Maka barang siapa yang meninggalkannya hanya untuk memperoleh sebuah kedudukan di sisi seorang raja, bagaimana ia perlu memperhatikannya?

Sebagaimana perbandingan dunia yang bersih dengan akhirat lebih sedikit daripada sepotong roti terhadap raja dunia, sebab tidaklah bisa dibandingkan antara sesuatu yang habis derigan sesuatu yang amat dekat, walaupun sedang berlangsung sejuta tahun bersih dari berbagai kekeruhan. Maka akan menantikan kesudahannya dengan kemusnahan. Jikalau demikain halnya, maka ketahuilah bahwa derajat yang tertinggi ialah jikalau engkau jauhi segala sesuatu selain Allah SWT. demi mengharapkan ridla-Nya. Maka hal tersebut dilakukan dengan mengenal-Nya serta mengenal kedudukan-Nya yang amat tinggi. Maka janganlah mengandalkan makan, minum, nikah, tempat tinggal, serta segala kebutuhanmu, melainkan sekedar yang engkau perlukan saja tidak lebih untuk menegakkan badan serta menghidupi dirimu. Inilah zuhud yang hakiki (mutlak). Wallahu A'lam

Sunday, September 9, 2012


Imam As Syafi’i dan Para Sufi


Di beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)


Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.

Imam As Syafi’i juga menyatakan,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena prilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207) Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini,”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmah dan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka.” (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalanagn sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Dengan demikian, pernyataan yang menyebutkan bahwa Imam As Syafi’i membenci total para sufi tidak sesuai dengan data sejarah, juga tidak sesaui dengan pemahaman para ulama mu’tabar dalam memahami perkataan Imam As Syafi’i. Wallahu’alam…

Rujukan:
1. Manaqib Al Imam As Syafi’i, karya Al Baihaqi, t. As Sayyid Ahmad Shaqr, cet.Dar At Turats Kairo, th.1390 H.
2. Madarij As Salikin, karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cet. Al Mathba’ah As Sunnah Al Muhamadiyah, th. 1375 H.
3. Adab As Syafi’I wa Manaqibuhu, karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, th. 1424 H.

Dialog Sufi: Kisah Abu Bakar Digigit Ular


www.nu.or.id

Moh Yasir Alimi, PhD, mantan pengurus PCI NU Cabang Istimewa Australia dan New Zealand (2005-2009) berdialog tentang jalan kesufian dengan Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani. Sang syekh adalah khadim atau pelayan thariqat Naqsabandi Haqqani di Indonesia.

Syaikh Mustafa lahir di Jombang, 25 Januari 1947. Ia adalah ulama sufi Ahlusunnah Wal Jamaa’ah yang menempuh pendidikan di pesantren Darul ’Ulum Jombang, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Setelah itu, Mustafa, yang kini membimbing 90 zawiyyah thariqat Naqsabandiah Haqqani di Indonesia, melanjutkan studinya ke School of Oriental African Studies (SOAS) University of London, dan Studies Johann Wolfgang Goethe Universitat, Frankfurt Am Mainz, Jerman.

Sebelum mengabdikan 100 persen waktunya untuk dakwah, ia pernah menjadi peneliti di LP3ES,dosen STAN Jakarta, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dosen Universitas Kebangsaan Malaysia. Pernah juga ia bekerja di Kementerian Belia dan Sukan dan Kuala Lumpur HRDC Trainer Malaysia.

Tahun 1997, ia ditunjuk oleh Maulana Syaikh Nadzim Al Haqqani Ciprus dan Maulana Syaikh Hisyam Kabbani Ar Robbani USA sebagai The Representatif of The Naqsybandi Sufi Order Indonesia.

Sejak saat itu, Syaikh Mustafa melepaskan profesinya dan mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk dakwah berkeliling ke seluruh penjuru Indonesia membimbing umat agar mencintai Rasulullah.

Di bawah perintah dan bimbingan Maulana Syaikh Nadzim, metoda dakwah Syaikh Mustafa mengedepankan semangat mencintai Rasulullah SAW, perdamaian, toleransi, cinta, kasing sayang dan persaudaraan. Dialog Yasir dan sang Syaikh, ada yang ketemu langsung, adapula melalui sms, maka gaya bahasa bisa bermacam-macam, dari bahasa sms, percakapan dan bahasa gaul. Berikut ini bagian pertama dialo kesufia.

Syaikh, terangkan kepadaku apa hakekat thariqat? 


Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk melebur ego, ke dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan arti fana missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja. Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya, sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang iklim saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah kesalehan; tentang pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur, tentang getar dalam hati kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain mutiara-mutiara Islam yang makin terasa hilang; maka temukanlah kembalimutiara itu melalui thariqat.

Bisa dijelaskan lagi Syaikh, tentang rasa cinta dan getar di dada itu?


Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang lalu, ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping dalam perjalanan menuju ke Madinah.

Sayidinia Abu Bakar dengan penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan "Penuh Adab yang Bersungguh", di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan menuju ke Tenggara. Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh), criticizing, bertanya pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa lewatTenggara?

Itu cermin apa, Syaihk?


Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi dalam kehidupan kita sekarang yangmenjadi ruh dari reformasi, segala hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber, hilang.

Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja apa yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan “percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al Amin,tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan sangat pantes dicintai.Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire', suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangatpenting untuk dijelaskan.

Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi. 

Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur."

Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya. Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem.

Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar?


Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk. Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3. Barangkali sudah kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau tidak mau Rasulullah digigit ular.

Akhirnya kakinya dicatel (digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah.

Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh?


"Nangis Sampean?” tanya Rasulullah.

"Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular."

There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular.

" Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?"

Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau.

"Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan ‘Barang siapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga,” kata ular.

“Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu fi ainal mahabbah,” lanjut ular.

Apa kata Allah? 


"Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah.

“Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu Engkau, Wahai Muhammad. "

Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh?


Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart.

Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.

Lihatlah kehidupan sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah". Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad.

Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang?

Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya yang enteng, kemudian dalam praktek bias jadi perilaku atau suasana hati yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu?

Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas, istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui thariqat. Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah, syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri.

Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bidah, perlu rumusan paradigm yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min kulli ma yukholiful azimah.

Jadi saat ini pun, kita semestinya senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar mendapatkan rahmat Allah. 

Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadis Qudsi.

Hadits pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”.

Hadis Qudsi kedua. Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau:

“Siapa kamu?”
“Aku Iblis” tukas orang asing itu.
“Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah.
“Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”.
“Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi.
“Kamu,” jawab iblis tegas.
“Kenapa,” tanya Rasulullah.
“Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis.

Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh?

Yang mati kita, bukan Rasulullah.[]

SARI AS-SAQATHI

Orang-orang mengatakan bahwa Sari As-Saqathi yang nama lengkapnya adalah Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathiadalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah seorang tokoh sufi yang terkemuka di Baghdad dan pernah mendapat tantangan dari Ahmad bin Hambali. Mula-mula ia mencari nafkah dengan berdagang barang-barang bekas dan ia meninggal pada tahun 253 H/867 M dalam usia 98 tahun.

KEHIDUPAN SARI AS-SAQATHI

Sarri as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan ”peleburan”(fana) sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Iraq adalah murid-murid Sari as-Saqathi.
la adalah paman Junaid dan murid Ma’ruf al-Karkhi. Ia juga pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i. Pada mulanya Sari tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya.
Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari dan berkata:
“Syeikh dari gunung Lukam mengirim salam kepadamu”.
Sari menyahut; “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusyukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaat pun”.

Diriwayatkan, di dalam berdagang itu Sari tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen. Pada suatu ketika Sari membeli buah-buahan badam seharga enam puluh dinar. Pada waktu harga buah badam sedang naik, seorang pedagang perantara datang menemui Sari.
“Buah-buah badam ini hendak kujuaI”, Sari berkata kepadanya.
“Berapakah harganya?”, tanya si perantara.
“Enam puluh enam dinar”.
“Tetapi harga buah badam pada saat ini sembilan puluh dinar”, si perantara berkeberatan.
“Sudah menjadi peraturan bagi diriku untuk tidak menarik keuntungan lebih dari lima persen”, jawab Sari,
“Dan aku tidak akan melanggar peraturan sendiri”.
“Dan aku pun tidak merasa pantas untuk menjual barang-barangmu dengan harga kurang dari sembilan puluh dinar”,
sahut di pedangang perantara.
Akhirnya si perantara tidak jadi menjualkan buah-buahan Sari.

ooo

Pada mulanya Sari menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar.
“Pasar terbakar!”, orang-orang bertariak. Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari: “Bebaslah aku sudah!”
Setelah api reda ternyata toko Sari tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian.

ooo

“Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini”, seseorang bertanya kepada Sari. Sari menjawab: “Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Kepadanya kuberikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang-orang miskin. ’Semoga Allah memberkahi engkau`, Habib ar-Ra`i mendoakan diriku. Setelah ia mengucapkan doa itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi”.
“Keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim.
’Berikanlah pakaian untuk anak ini’, pinta Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian.
Kemudian Ma’ruf berkata; ’Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini’. Karena kemakbulan doa Ma’ruf itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaanku di dunia ini”.

SARI DAN SEORANG ANGGOTA ISTANA
Pada suatu hari ketika Sari sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat intim khalifah, Ahmad Yazid si jurutulis lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya.
“Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi”. Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari.
Sari berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya.
Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa!”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikkan Sari ke jantung Ahmad. Ahmad menangis dengan sedihnya sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari.
“Guru”, ucap Ahmad kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlahkepadaku jalan yang ditempuh para khalifah”.
“Jalan manakah yang engkau inginkan”, tanya Sari. “Jalan para sufi atau jalan hukum?
Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”
“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku”, Yazid meminta kepada Sari.

Maka berkatalah Sari: “Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat – jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperesok ke dalam perangkap-perangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut”.
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari dan berkata:
“Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa han ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia, Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku”,
Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya”.
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad kembali kepada Sari. Sari memerintahkan kepada pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya”. Kemudian ia memandang Ahmad. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman”, Ahmad berkata kepada Sari, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat”.
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isteri Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari sendiri pun tidak dapat menahan air matanya.
Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapa pun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai Imam kaum MusIimin”, Ahmad berseru kepada Sari, “mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku”.
Sari menjawab: “Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang”.
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim, Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu”.
“Baiklah”, jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu:
“Sekarang, pergilah engkau seorang diri”
Melihat hal ini si isteri menjerit: “Aku tidak sampai hati membiarkannya”, dan anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu”, kata Ahmad kepada isterinya, ’Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian”.
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sari di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari:
“Ahmad mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan: ’Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku”.
Sari pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja”.
Sari mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya, Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang syeikh, dan berkatalah ia:
“Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi”.
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan- urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sari bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?”, jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit:
’Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!’ “.

ANEKDOT-ANEKDOT MENGENAI DIRI SARI
Junaid meriwayatkan sebagai berikut ini.
Pada suatu hari aku mengunjungi Sari dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya,”Apakah yang telah terjadi?”
Sari menjawab: “Aku telah berminat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan.
Di dalam mimpi aku bertemu dengan seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia menjawab:
’Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi’. Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah. Saksikanlah olehmu sendiri!”
Kulihat pecahan-pecahan kendi yang berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu dibiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.

ooo

Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan. “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah sangat menakutkan. Aku menjadi gentar.
Orang itu menegurku:
“Junaid, takutkah engkau kepadaku?”
“Ya”, jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia”.
“Siapakah engkau?”, aku bertanya. “Iblis”,jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu dengan engkau”, aku berkata kepadanya.
“Begitu engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari, engkau lupa kepada Allah.
Apakah maumu untuk bertemu dengan aku?” tanya si Iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang faqir?”
“Tidak”, jawab si Iblis.
“Mengapakah demikian?”
Si Iblis menjawab: “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat.
Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi”.
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?”
“Ya, aku melihat mereka”, jawab si Iblis, “Dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase/fana, dapatlah kulihat sumber keluh-kesah mereka itu”.
Setelah berkata demikian, si iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana kudapati Sari yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya. “Dia telah berdusta, seteru Allah itu”, Sari berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis”.

ooo

Sari mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya.
“Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu”, Sari berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia memasuki kamar Sari dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sari, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu”.
Sari menjawab: “Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur, Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku”.[]

Sumber Tulisan:
Diketik Ulang dari buku “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar,Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.

Tawadhu'nya Sufi Sejati


Amir bin Abdullah At-Tamimi

Tawadhu'nya Sufi Sejati

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal"

Salah satu tabi'in yang dikenal zuhud adalah Amir bin Abdullah At-Tamimi. Nama At-Tamimi pada akhir namanya merupa­kan penunjuk bahwa ia berasal dari Bani Tamim, suku Arab asli di Hijaz.

Pada waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah yangmembuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.

Seorang penduduk Bashrah men­ceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah mengikuti perjalanan se­buah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin Abdullah at-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah pepo­honan besar dekat sumber air. Saat itu­lah Amirmembereskan perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada se­buah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rum­put yang dapat mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepo­honan dan menjauh dari kami.
Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi Allah, akan aku ikuti dan perhati­kan apa yang dia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.'

Dia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat sese­orang shalat dengan sempurna dan khu­syu' seperti itu.

Karena kelelahan setelah menem­puh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk berat menyerangku,sehingga tertidur. Setelah sekian lama aku terlelap da­lam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."

Gentong Penuh Permata
Setiap kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyam­butnya. Dia mujahid yang banyak ber­peran saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, dia
menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk mendapatkan ghanimah
(rampasan perang).

Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, pang­lima Perang Qadisiyah, berhasil menun­dukkan persia, dia memerintahkan pe­tugas untuk mengumpulkan dan menghi­tung ghanimah. Banyak
sekali harta ke­kayaan, perhiasan, dan barang-barang berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya dibagi­kan kepada para mujahidin.

Saat para petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.

Dengan takjub mereka memperhati­kan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta ram­pasan perang yang sepadan dengan­nya. Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?"

"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.

"Apakah engkau mengambil bagi­an?" tanya mereka.

"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali.
Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat dan
aku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.

"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.

"Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar kalian
tidak memuji dan menyan­jungku. Aku hanya memuji dan menyan­jung Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu me­ninggalkan mereka.

Terdorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, mereka mengutus sese­orang untuk membuntuti dan mencari in­formasi tentang lekaki itu. Tanpa sepengetahuannya, lelaki itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut ke­pada mereka, mereka menjawab, `Tidak­kah engkau mengetahuinya? Dialah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdillah At-Tamimi."

Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal.Ketika sakitnya makin berat, para sa­habatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.
Mereka pun bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukan­kah engkau orang yang begini dan be­gitu (menyebutkan berbagai macam ke­baikan)."

"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalan­an dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara
naik dan turun, ke sur­ga atau ke neraka, aku tak tahu ke mana aku akan kembali."

Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah de­ngan dzikrullah.

Amir bin Abdillah At-Tamimi mening­gal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la dimakamkan di Baitul Maqdis

Kehidupan Sufistik Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq


Kehidupan Sufistik Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq

"Abu Bakar mengungguli kalian bukan karena banyaknya salat dan banyaknya puasa, tapi karena sesuatu yang bersemayam di hatinya." (HR at-Tirmidzi di an-Nawâdir dan al-Ghazali di Ihyâ' Ulûmiddîn)

Setiap malam Jumat, usai salat Isyak, tubuh yang dibalut jubah kasar itu duduk berzikir. Kepalanya menunduk sangat rendah sampai menyentuh lutut. Begitu khusyuk dan khidmat, tak sedikit pun bergerak untuk mendongak. Menjelang fajar terbit, kepalanya baru diangkat, menghela nafas yang panjang dan tersendat-sendat. Kontan, aroma di ruangan itu berubah. Tercium bau hati yang terpanggang.

Itulah ibadah khusus Abu Bakar Radhiallâhu'anhu yang diceritakan oleh istri beliau setelah mendapat permintaan dari Umar bin al-Khatthab. Umar menitikkan air mata, terharu mendengar cerita dari istri pendahulunya itu. "Bagaimana mungkin putra al-Khatthab bisa memiliki hati yang terpanggang," desahnya. Hati yang terbakar oleh rasa takut melihat kebesaran Allah, terbakar oleh rasa cinta karena memandang keindahan Allah, juga terbakar oleh harapan yang memuncak akan belas kasih Allah.

Abu Bakar ash-Shiddiq dinobatkan sebagai orang terbaik dari kalangan umat Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah SAW juga menobatkannya khalîl atau kekasih terdekat bagi beliau. Faktor utamanya bukan karena banyaknya amal yang beliau lakukan, tapi karena totalitas hatinya. Hatinya serba total untuk Allah dan Rasul-Nya.

Pada saat Rasulullah SAW mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang melawan Romawi di Tabuk, Abu Bakar membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah SAW. "Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?" tanya Rasulullah kepada Abu Bakar.
"Allah dan Rasul-Nya?" jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikitpun.
Inilah totalitas hati Abu Bakar. "Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati tak menyisakan apapun melainkan apa yang ia cintai," demikian komentar Imam al-Ghazali tentang kisah beliau ini.

Totalitas hati itu membawa Abu Bakar SAW menjadi orang yang paling makrifat kepada Allah di antara umat Rasulullah SAW yang lain. Abu Bakar Radhiallâhu'anhu mengorbankan segalanya untuk Allah dan Rasulullah SAW

. Hingga, hidupnya begitu miskin setelah mengucapkan ikrar Islam di hadapan Rasulullah. Padahal, sebelumnya Abu Bakar adalah saudagar yang disegani di Quraisy.
Abdullah bin Umar bercerita: Suatu ketika Rasulullah SAW duduk. Di samping beliau ada Abu Bakar memakai jubah kasar, di bagian dadanya ditutupi dengan tambalan. Malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan salam Allah kepada Abu Bakar.
"Hai Rasulullah, kenapa aku lihat Abu Bakar memakai jubah kasar dengan tambalan penutup di bagian dadanya?" tanya Malaikat Jibril.

"Ia telah menginfakkan hartanya untukku sebelum Penaklukan Makkah." Sabda beliau
"Sampaikan kepadanya salam dari Allah dan sampaikan kepadanya: Tuhanmu bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?"
Rasulullah SAW menoleh kepada Abu Bakar. "Hai Abu Bakar, ini Jibril menyampaikan salam dari Allah kepadamu, dan Allah bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?"

Abu Bakar menangis: "Apakah aku akan murka kepada (takdir) Tuhanku!? (Tidak!) Aku rida dengan (takdir) Tuhanku, Aku rida akan (takdir) Tuhanku."
Semua miliknya habis untuk Allah dan Rasulullah SAW. Inilah totalitas cinta. Cinta yang mengorbankan segalanya untuk Sang Kekasih, tak menyisakan apa-apa lagi selain Dia di hatinya. "Orang yang merasakan kemurnian cinta kepada Allah, maka cinta itu akan membuatnya berpaling dari pencarian terhadap dunia dan membuatnya merasa tidak asyik bersama dengan segenap manusia." Demikian untaian kalimat tentang tasawuf cinta yang pernah terucap dari mulut mulia Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq.

Oleh karena itu, Sayidina Abu Bakar memilih zuhud sebagai jalan hidup utama beliau. Dunia bukanlah fasilitas yang hendak dinikmati, tapi godaan yang harus dihindari. Faktor utama yang menyebabkan manusia lupa kepada Allah adalah kesukaannya terhadap hal-hal duniawi.
Faktor utama yang menyebabkan manusia mendurhakai Allah juga kegilaan terhadap hal-hal duniawi. Kegilaan terhadap hal-hal duniawi merupakan sumber dan induk dari segala kesalahan yang dilakukan manusia.

HAK TETANGGA"..

ماشاءالله تبارك الله ياتريم واهلها "TERMASUK HAK TETANGGA".. DOSA YANG MEMBUAT PARA MALAIKAT MENANGIS‎ Diriwayatkan bahwa ...